Rabu, 28 April 2010

ABU HASAN ASY SYADZILI

Abul Hasan Asy-Syazili adalah seorang tokoh sufi yang sudah termasyhur. Hizb An-Nashr yang merupakan kumpulan doa-doa untuk meraih kemenangan dalam menghadapi musuh-musuh Islam sering dibaca dalam kumpulan wirid-wirid Dala’il Al-Khairat. Karangannya As-Sirrul Jalil fi Khawash Hasbunnal wa Ni’mal Wakil (rahasia yang agung dalam keistimewaan Hasbiyallahu wa ni’mal wakil) telah menampilkan suatu alam yang khas kaum sufi. Alam yang tidak dapat dijamah lewat pendekatan logika. Sebab “perangkat-perangkat” yang digunakan adalah suatu yang lain dari rasio. Dari itu pula maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa menilai dan menghukum alam ini dengan rasio adalah suatu kesia-siaan.
Sekalipun demikian jauh keterlibatan dan peran Abul Hasan dan tokoh-tokoh sufi seperti Ibrahim bin Adham, Al-Junaid Al-Baghdadi, Ibn ‘Atha’ As-Sakandari, Al-Qusyairi dalam alam rohani yang khas ini, tapi patut diakui bahwa mereka tidak pernah melampaui tapal batas syari’at. Justru alam kerohanian yang mereka bangun berdiri kokoh di atas garis-garis syariat yang jelas dan terang. Tidak seperti beberapa tokoh lain atau pengaku-pengaku diri mereka sebagai waliyullah yang memutuskan syari’at dari praktik ritual mereka. Ketika seorang laki-laki menyebutkan di depan Al-Junaid Al-Baghdadi tentang ma’rifat Allah Ta’ala dan ia mengatakan bahwa ahli ma’rifah adalah orang-orang yang sampai ke tingkat meninggalkan segala amal perbuatan sebagai suatu sikap kebajikan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala, Al-Junaid—yang bermazhab Abu Tsaur dalam fiqhnya— dengan tegas membantah, “Itu perkataan sekelompok orang yang tidak mementingkan amal perbuatan. Menurutku itu merupakan suatu dosa besar. Orang yang mencuri dan berzina lebih baik kondisinya daripada orang yang berkata demikian. Ahli ma’rifat adalah orang-orang yang menunaikan amal-amal yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang dituntut oleh Allah Ta’ala kepadanya. Andai kata aku dapat hidup seribu tahun, maka sungguh aku tidak akan pernah meninggalkan amal kebaikan walaupun yang sebutir debu kecuali ada hal yang merintangiku untuk itu.” Al-Junaid juga mengatakan, “Orang yang tidak menghafal Al-Qur’an dan mencatat hadits tidak dapat diikuti dalam persoalan ini (tasauf), karena ilmu pengetahuan kami terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)
Tidak hanya itu, mereka juga tokoh-tokoh yang peka dan berinteraksi secara dinamis dengan kondisi umat. Ramuan-ramuan kerohanian syar’iy—jika tepat disebut demikian—yang mereka sodorkan, pada tingkat pertama justru terarah pada perbaikan kondisi kehidupan zaman mereka hidup. As-Sirrul Jalil karangan Abul Hasan secara serta merta menampilkan zaman di mana umat Islam menghadapi kondisi yang kritis; berbagai bahaya datang menggerogati tubuh umat baik dari luar (Eropa salibis dan Tatar) maupun dari dalam (perebutan kekuasaan dan kesewenang-wenangan penguasa). Abul Hasan datang menawarkan konsep perbaikannya yang khas. Suatu konsep yang ditarik dari kedalaman alam di mana ia hidup secara konkrit. Dan bukankah Allah Ta’ala akan mengganjari amal baik hamba-Nya atas dasar niat dan maksud baiknya?! Sekalipun dengan konsep dan methode yang berbeda satu sama lain.
Sebaris dua baris mengenai riwayat hidup Sayyidi Abul Hasan Asy-Syazili, pendiri thariqah Asy-Syaziliyyah, agaknya cukup untuk sekadar mewakili suatu ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada tokoh ini, yang telah berpihak kepada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat.
Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar. Garis keturunannya bersambung sampai kepada Al-Hasan putra Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra’ binti Rasulullah saw..
Abul Hasan dilahirkan pada 593 Hijriyah di Maghrib (Maroko), di kota Ghamarah, tidak jauh dari Sabtah (Ceuta). Di kota itulah Abul Hasan mulai menimba berbagai ilmu pengetahuan agama sampai ia benar-benar menguasainya. Namun betapa pun dalam dan mapan penguasaan seseorang terhadap ilmu-ilmu lahiriyah semacam Fiqh, Nahwu dan Sharaf, ternyata itu masih belum dapat membawa jiwa menyelam ke alam kerohanian yang tinggi. Abul Hasan memendam suatu hasrat yang amat kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ingin menerangi kalbunya dengan Nur Ma’rifah (cahaya ma’rifat Allah Ta’ala). Ia lantas mengambil keputusan untuk merantau ke Irak yang pada waktu itu merupakan kota tujuan setiap penuntut ilmu dunia dan agama. Karena Irak, di samping tempat para ahli-ahli ilmu dunia, juga merupakan pusat tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang fiqh, hadits dan tasauf.
Ketika ia sampai di Baghdad, banyak waliyullah yang dijumpainya. Tokoh yang paling terkemuka pada waktu itu menurut Abul Hasan, adalah Abul Fath Al-Wasithi. Di Baghdad, Abul Hasan rahimahullah berusaha mencari tahu siapa gerangan quthb di Baghdad. Sampai pada suatu ketika seorang waliyullah mengatakan kepadanya, “Hai Abul Hasan, Anda mencari quthb di Irak sementara quthb yang Anda cari itu justru berada di negeri Anda sendiri. Kembalilah ke sana, tentu Anda akan menjumpainya!”
Abul Hasan lalu kembali ke kota kelahirannya, Ghamarah, dengan penuh harapan semoga orang yang dicarinya selama ini dapat ia temui. Dan ternyata kepulangannya ke Ghamarah beroleh hasil, di sana ia bertemu dengan Al-Quthb Al-Akbar Abdussalam bin Masyisy, imam penduduk Maghrib sebagaimana Asy-Syafi’i imam penduduk Mesir.
Ibnu Masyisy beribadah di satu gua di puncak sebuah bukit di Ghamarah. Semenjak itu Abul Hasan sering mendatangi dan berguru kepadanya. Salah satu ajaran yang diterima Abul Hasan dari gurunya itu berbunyi, “Arahkan penglihatan iman, niscaya engkau akan mendapati Allah pada segala sesuatu.”
Ibnu Masyisy telah meramalkan tentang peristiwa-peristiwa besar yang akan dilalui oleh Abul Hasan dalam hidupnya, dan karena itu ia menganjurkannya untuk pindah ke Afrika (sebutan untuk Tunisia pada zaman itu). Dalam Durratul Asrar diterangkan bahwa Ibnu Masyisy memang menentukan kota Syazilah di Afrika, bukan yang lain, sebagai tempat yang akan dituju oleh muridnya ini. “Allah ‘Azza wa Jalla menamakanmu Asy- Syazili,” demikian kata Ibnu Masyisy kepada Abul Hasan. Setibanya di Syazilah, ia langsung meneruskan perjalanannya ke Jabal Zaghwan, dan menundukkan dirinya semata-mata kepada Allah Ta’ala lewat beribadah, shalat, puasa, tilawah dan tasbih. Meskipun demikian Syeikh Abul Hasan tidak menyembunyikan diri (mahjub) dari orang-orang yang ingin menjumpainya, ia selalu menyambut dengan baik setiap pecinta ma’rifah, yang memang benar-benar serius dalam menuntutnya. Di dalam gua di gunung itulah, ia berkhalwah sampai dengan hatinya benar-benar kosong daripada selain Allah, jiwanya suci dari segala keburukan, dan kebaikan telah terpatri dalam dirinya. Baru setelah itu, ia kembali bergabung dalam masyarakat untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada hamba-hamba Allah yang lain.
Mengenai penisbahan dirinya kepada Syazilah, Abul Hasan menuturkan, “Pernah aku berkata, wahai Tuhan-ku, mengapa Engkau menamakanku dengan Asy-Syazili sedangkan aku tidak berasal dari Syazilah? Maka aku seolah-olah mendengar Suara mengatakan, wahai Ali, Aku tidak menamakanmu dengan Asy-Syazili, akan tetapi engkau adalah seorang Syazzili.” Syazzili dibaca dengan dengan tasydid huruf “dzal”, bermakna: orang yang diistimewakan untuk menjadi pelayan-Ku [lewat ibadah] dan memperoleh kecintaan-Ku.
Dari Syazilah, Syeikh Abul Hasan Asy-Syazili bertolak ke kota Tunisia, tempat mana dirinya akan menanggung suatu cobaan berat. Hal ini pernah diramalkan oleh Ibnu Masyisy ketika ia mengatakan kepada Abul Hasan, “Akan ditimpakan ujian kepadamu di sana (Tunisia) dari pihak penguasa.” Kisahnya, kepala hakim di Tunisia bernama Ibnu Al-Barra’ merasa iri melihat Abul Hasan mempunyai banyak murid dan populer di kalangan masyarakat, di samping tidak sedikit ahli-ahli fiqh dan ulama’ yang mengikuti majlisnya. Iri hati tersebut mendorong Ibnu Al-Barra’ untuk menghasut Abul Hasan kepada Sultan Tunisia. Sultan yang termakan hasutan Ibnu Al-Barra’ lantas memerintahkan untuk mengurung Syeikh Abul Hasan di istananya untuk beberapa waktu. Namun apa yang terjadi? Dalam waktu itu pula Sultan ditimpa oleh banyak kejadian yang memilukan. Dan Sultan akhirnya menyadari bahwa apa yang terjadi kepada dirinya adalah bahagian dari karamah Abul Hasan Asy-Syazili. Maka tanpa menunggu lama, ia pun membebaskan Abul Hasan.
Dari Tunisia, Abul Hasan kemudian pindah ke Mesir. Kedatangannya di Mesir pada waktu itu bukan merupakan kali yang pertama. Sebab sebelumnya ia sudah pernah singgah di Mesir dalam perjalanannya menuju tanah suci untuk menunaikan fardhu haji. Tentang alasan mengapa ia datang lagi ke Mesir, Syeikh Abul Hasan mengungkapkan, “Dalam mimpiku aku melihat Rasulullah saw., dan beliau berkata, ‘Hai Ali, pindahlah engkau ke negeri Mesir, [dan di sana nanti] engkau akan mengasuh 40 orang teman.’.” Ia kemudian tiba di Alexandria (Iskandariyah), dan menikah di sana. Dari pernikahannya itu ia memperoleh keturunan; tiga lelaki dan dua perempuan. Hari-hari yang dilaluinya selama menetap di Mesir merupakan masa ketentraman lahir dan batin baginya. Sultan Mesir telah menghibahkan kepada Abul Hasan sebuah benteng di Iskandariyah untuk tempat tinggal keluarganya. Pada waktu ia menetap di Mesir itu pula masa yang penuh barakah bagi Mesir, bukan saja dari sisi da’wah, tapi juga dari sisi bahwa Mesir telah memuliakan seorang ulama’ yang paling tinggi dan utama, baik ilmu maupun akhlaknya. Dalam Qamus Al-Muhith karangan Al-Fairuz-abadi diterangkan: “Termasuk di antara orang-orang yang menghadiri majlisnya (yakni Abu al-Hasan) ialah ‘Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiqil ‘Id, dua tokoh ulama terpandang. Selain mereka, termasuk pula Al-Hafiz Al-Munziri, Ibnu Al-Hajib, Ibnu Shalah, Ibnu ‘Ushfur, serta ulama-ulama lain dari Madrasah Kamiliyah di Kairo.” Kamiliyah adalah madrasah yang pembelajaran fiqhnya didasarkan kepada mazhab Imam Asy-Syafi’i, didirikan oleh Sultan Al-Kamil, kemenakan Shalahuddin Al-Ayyubi, di permulaan abad ke-7 Hijriyah. Madrasah itu terletak di Jalan Al-Muiz Lidinillah (Jalan Ash-Shaghah). Madrasah ini juga pernah masyhur dengan nama Darul Hadits lantaran Sultan Al-Kamil menyediakannya khusus untuk para pelajar dan pengajar Hadits. Sesudah mereka, baru kemudian tempat tersebut dimafaatkan oleh para ahli fiqh mazhab Asy-Syafi’i. Sultan Kamil telah mewaqafkan berbagai harta dalam bentuk benda yang dari hasilnya dapat dipakai untuk membiayai seluruh keperluan madrasah.
Abul Hasan berpenampilan bagus, ucapan-ucapannya enak didengar dan tidak berhaluan radikal dalam kesufiannya sebab ia mengatakan, “Thariqah ini bukan merupakan sikap ruhban (biarawan); tidak makan gandum dan kurma, dan bukan pula dengan banyak mengucapkan kata-kata sastra. Tetapi ia adalah sabar dalam menerima segala suruhan (syariat Islam) dan yakin dalam hidayah.”
Yaqut Al-‘Arsy menukilkan dari gurunya, Abul ‘Abbas Al Mursi, bahwa Abul Hasan Ali Asy-Syazili menunaikan fardhu haji pada setiap tahun. Ia menempuh jalan melalui Sha’id Mishr (Upper Egypt/kawasan hulu Mesir), dan berdiam di Makkah dari bulan Rajab sampai dengan selesai musim haji kemudian pergi menziarahi makam Nabi saw.. Sebelum keberangkatannya pada kali yang terakhir di tahun 656 Hijriyah, ia meminta kepada pelayannya untuk membawa kapak, keranjang besar, ramu-ramuan yang biasa dipakai untuk mayat agar tidak lekas rusak, serta semua perlengkapan untuk pengurusan mayat. Ketika si pelayan menanyakan kepentingan semua itu, Abul Hasan menjawab, “Di Humaitsara akan ada al-khabar al-yaqin (kabar yang meyakinkan, yakni maut).” Humaitsara adalah satu daerah di kawasan pelabuhan ‘Izab yang terletak di pantai barat Laut Merah. Di Humaitsara ini terdapat mata air Zu’aq dan perkampungan-perkampungan. Tatkala Abul Hasan tiba di Humaitsra, ia langsung mandi serta shalat dua raka’at, dan sesudah itu ia pun pergi kembali kepada Tuhan Penciptanya. Abul Hasan dimakamkan di Humaitsara. Dalam Rihlah Ibnu Bathuthah tercatat: “Aku telah mengunjungi makamnya; dan di atas makam ada sebuah kubah yang di situ tertulis nama dan silsilah Abul Hasan yang sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semuanya).”
Dalam Rihlah Ibnu Jubair dan Ibnu Bathuthah, dan Al-Khuthuth Al-Maqriziyyah terdapat keterangan bahwa ‘Izab adalah sebuah pelabuhan di Laut Qalzum, tidak ada perkotaan di sana, akan tetapi ia termasuk pelabuhan yang amat terkenal di dunia pelayaran. Kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan itu datang dari dari Yaman, Habsyah (Ethiopia), dan India. ‘Izab juga merupakan jalan menuju Tanah Suci dari Mesir, yang ditempuh oleh orang-orang yang ingin menunaikan haji dengan melintasi Qaush. Dari situ mereka naik kapal menuju Jeddah. ‘Izab telah dijadikan jalur lalu-lintas menuju Hijaz oleh para jama’ah haji Mesir dan Maroko selama 200 tahun lebih. Tapi penggunaan jalur ini kemudian dihentikan dalam tahun 766 Hijriyah. Maka semenjak abad ke-10 Hijriyah, ‘Izab hanya tinggal puing, jalan-jalannya telah hilang dan orang-orang haji merubah rute perjalanan mereka ke jalur lintas Suez – ‘Aqabah, kemudian menyusuri tepi timur Laut Merah menuju Jeddah.
Ibnu Jubair menggambarkan perjalanan haji dari Qaush ke ‘Izab, katanya, “Lalu lintas antara Qaush dan ‘Izab ada dua: pertama, yang disebut dengan jalan Al- ‘Abdain; dan lainnya, yang disebut dengan Humaitsara, dan yang terakhir inilah yang dilalui oleh Syaikhuna Abul Hasan dalam perjalanan terakhirnya menuju negeri-negeri Hijaz, dan di Humaitsara itu pula ia menemui ajalnya pada tahun 656 Hijriyah serta dimakamkan dalam rumahnya di sana.”
Rahimahullah Sayyidi Abul Hasan Asy-Syazili.

0 komentar:

Posting Komentar