Sabtu, 18 September 2010

Ayat Makkiyah Dan Ayat Madaniyah

Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:
  1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.
  2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.




Surah-Surah Dalam Al-Quran

Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114 Surat. Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
  1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
  2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
  3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
  4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adh dhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.

Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat terdapat 29 surat yaitu pada surat-surat:
(1) Al Baqarah,
(2) Ali Imran,
(3) Al A’raaf.
(4) Yunus,
(5) Yusuf,
(7) Ar Ra’ad,
(8) lbrahim,
(9) Al Hijr,
(10) Maryam.
(11) Thaaha.
(12) Asy Syu’araa,
(13) An Naml,
(14) Al Qashash,
(15) A1’Ankabuut,
(16) Ar Ruum.
(17) Lukman,
(18) As Sajdah
(19) Yasin,
(20) Shaad,
(21) Al Mu’min,
(22) Fushshilat,
(23) Asy Syuuraa.
(24) Az Zukhruf
(25) Ad Dukhaan,
(26) Al Jaatsiyah,
(27) Al Ahqaaf.
(28) Qaaf dan
(29) Al Qalam (Nuun).

Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.
Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu

Rabu, 15 September 2010

Doa Agar Bisa Melunasi Utang

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
0Ya Allah! Cukupilah aku dengan rez yang halal dar) dari yang haram.
Ya Allah!
Cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram.
Perkayalah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak minta) kepada selainMu.
HR. At-Tirmidzi 5/560, dan lihat kitab Shahihut Tirmidzi 3/18

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)

Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalamIrwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Iedul Fithri

Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)

Apakah Harus Berurutan ?

Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman,“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan Puasa Qodho’

Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalamSyarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.

Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Kamis, 09 September 2010

TEKS TAKBIRAN

اَللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ

لااِلَهَ اِلااللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ وَلله الْحَمْدُ

الله اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلا لااِلَهَ اِلااللهُ وَلا نَعْبُدُ اِلا اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ , لااِلَهَ اِلااللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْاَحْزَابَ وَحْدَهُ , لااِلَهَ اِلااللهُ وَالله اَكْبَرْ اَلله اَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ


Kalau Tulisan Kurang Jelas bisa Download Langsung dengan meng klick Link Di bawah ini

Selamat Hari Raya

Idul Fitri 1431

Senin, 06 September 2010

Kegembiraan dan Kesedihan di Penghujung Ramadhan

Disetiap akhir bulan Ramadhan, pada umumnya kaum muslimin senantiasa merasakan kegembiraan. Gembira karena memang setelah ramadhan berkahir, akan datang hari raya yang membahagiakan yaitu ‘Idul Fithri. Hari raya kaum Muslimin sebagai hadiah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah tabarakawata’ala telah menggantikan bagi kalian keduanya (hari raya jahiliyah itu) dengan dua hari raya yang lebih baik darinya. Yaitu hari raya Iedul fitri dan hari raya kurban.” (Shahih, HR. Ahmad).


Namun, disisi lain kita telah ditinggalkan oleh bulan nan mulia. Bulan yang penuh janji ampunan dan pahala. Bulan yang penuh keutamaan. Bulan dimana pada satu malam terdapat malam lailatul qadar. Kepergian ramadhan, berarti pula selesailah kesempatan kita untuk mereguk segala keutamaan yang ada. Berlalulah segala keutamaan yang Allah ta’ala janjikan dibulan itu. Berlalunya Ramadhan, juga selalu membekaskan sebuah pertanyaan di pikiran kita. Adakah amalan Ramadhan kita diterima Allah ? Atau jangan-jangan kita hanya memperolah lapar dan dahaga saja di bulan ini ? Sungguh, kita tentunya tidak ingin menjadi seperti orang-orang yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapat apa-apa dari puasanya itu kecuali rasa lapar dan haus. Kembali ke pertanyaan diatas. Tampaknya, tidak ada seorangpun yang mampu menjamin amalan kita pasti diterima Allah. Jika memang demikian, tak hanya kegembiraan. Melainkan kesedihan juga turut menyertai kepergian Ramadhan.


Disisi lain, tentunya masih teringat beberapa waktu di pertengahan Ramadhan. Saudara-saudara kita umat muslim di Tasikmalaya, Garut dan sekitarnya digoncang gempa hebat yang mengakibatkan kematian dan kerusakan harta benda mereka. Mereka pasti tidak mampu merasakan Indahnya hari raya. Belum lagi saudara-saudara muslim kita dibelahan dunia yang lain yang rasa keamanan mereka terancam. Bukankan sesama muslim adalah saudara. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : al Muslimu akhulmuslim. “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengibaratkan umat Islam sebagai sebuah tubuh, bila satu anggota tubuh merasakan sakit maka anggota tubuh yang lain merasakan demam dan matapun turut begadang. Sebagai saudara, tidakkah rasa sedih itu juga hadir dalam diri kita?


Selayaknya, ramadhan ini menorehkan catatan berharga dalam hidup kita. Ramadhan telah mendidik kita untuk menunaikan ibadah-ibadah yang telah diwajibkan dan yang disunnahkan untuk menuju ketakwaan. Puasa, sholat malam, sedekah, membaca al Quran, sholat berjamaah yang telah kita laksanakan di bulan Ramadhan hendaknya sebagai awal bagi kita untuk istiqomah melaksanakan amalan di sebelas bulan berikutnya. Semoga kita kembali dipertemukan dengan Ramadhan di tahun mendatang.